![]() |
| Prau sama dengan logo Aqua. Foto: Desy Yuliastuti |
Kami berlima merapatkan tubuh,
mendekatkan tangan-kaki ke bara yang menyala merah. Tanpa perlu aba-aba perbincangan
mengalir dengan sendirinya, kebanyakan diisi dengan pertanyaan dari kami, dan jawaban berupa cerita mengenai pengalaman Pak Yus. Kala itu, si yang empunya rumah bak selebritas yang tengah
diwawancara lima pewarta.
Seperti
orang-orang umumnya, kami mengira Pak Yus berasal atau memiliki garis keturunan
orang Indonesia timur. Terlihat dari wajahnya yang sangar, rambut yang agak
ikal cenderung keriting, dan rahang keras berbalut berewok. Namun dialek dan
pengakuannya mematahkan perkiraan kami. Pak Yus asli suku Tengger, bahkan
sewaktu kecil beliau memiliki rambut gimbal. Beliau bercerita pernah ada mahasiswa,
orang Timur, yang mendaki Gunung Prau. Mahasiswa itu terus
memperhatikan Pak Yus, berharap Pak Yus membalas dan memberi tahu bahwa beliau
juga berasal dari Timur, tapi urung terjadi karena Pak Yus memang bukan orang
timur.
Pak
Yus menceritakan pengalamannya dengan polos dan apa adanya, perbincangan kami
dipenuhi dengan canda dan tawa, mendengarkan pengalaman Pak Yus sungguh menggelitik dan menghibur. Malam semakin larut, makan malam
suguhan istri Pak Yus yang tak habis pun sudah kembali dibawa ke dapur. Lapak
tidur digelar di samping anglo. Beberapa dari kami pun mulai beranjak ke tempat
tidur, mengenakan sleeping bag dan
selimut kepunyaan Pak Yus.
“Tau
gak mas, sebenarnya lambang Aqua itu dari Gunung Prau,” ujar Pak Yus sambil
memperhatikan botol Aqua kecil yang berada di samping anglo. Mungkin yang
dimaksud Pak Yus dengan lambang adalah logo. “Ah, masa sih Pak,” kata salah
satu dari kami. “Iya bener mas, coba diliat bener-bener,” katanya lagi,
berusaha lebih menyakinkan kami. Kami mengambil kamera dan mencoba mencari
gambar Gunung Merbabu, Sumbing, dan Sindoro yang sempat kami potret dari puncak
Gunung Prau. Setelah menemukan gambar yang dimaksud, kami mendekatkan kamera
dengan logo Aqua. Ternyata benar, siluet tiga gunung di logo Aqua ternyata
persis dengan gambar yang kami pegang. Kami baru mengetahui fakta tersebut dari
beliau, porter sederhana dan apa adanya, Pak Yus. Beginilah catatan perjalanan
kami:
15 Agustus 2015
![]() |
| Kami di Alun-alun Purtorico eh Purwokerto. Foto: Retno Anggorowati |
Perjalanan
kami mendaki Gunung Prau dimulai dari titik keberangkatan di Stasiun Pasar
Senen. Akibat kehabisan tiket kereta kelas ekonomi, kami pun membeli tiket kelas
bisnis, Krakatau, rute Jakarta-Purwokerto, seharga Rp 220 ribu. Dari Stasiun
Pasar Senen, kereta berangkat pukul 13.00 dan tiba di Stasiun Purwokerto pukul
18.30.
Tiba
pada malam hari, kami mencari penginapan di dekat stasiun. Hotel Damai yang
terletak tak jauh dari Stasiun Purwokerto, menjadi pilihan bermalam. Kami menyewa
ruangan besar, satu kamar mandi-dua kamar (lebih mirip kontrakan sebenarnya),
seharga Rp 125 ribu per malam. Pada sebuah kota biasanya letak
pasar, stasiun, terminal selalu tak begitu jauh. Setelah menaruh tas, kami
memutuskan pergi menuju Alun-alun Purwokerto, sembari mencari makan dan melihat
pawai kebudayaan yang biasanya diadakan menjelang perayaan hari-hari besar.
Benar saja, alun-alun dipenuhi dengan lautan manusia. Di sana kami melihat
pawai, mencari makan, dan bertemu kenalan yang tinggal di Purwokerto. Menjelang
pukul 23.00, kami menyeret tubuh kembali ke penginapan.
16 Agustus 2015
![]() |
| Nunggu angkot carter pemberi janji palsu sedang tambel ban. Foto: Retno Anggorowati |
Pukul 09.00, kami check
out dari penginapan. Kemudian turun
ke jalan, menunggu angkutan umum. Calo angkutan datang, menawarkan carter
mobil. Kami ditawari carter mobil Avanza menuju Patakbanteng seharga Rp 650
ribu. Terasa mahal jika tarif Avanza dibagi lima penumpang. Kami memilih bergabung dengan kenalan dari Jakarta, sehingga kami berjumlah 12 orang, lalu kami mencarter angkutan umum seharga Rp 750 ribu. Jika tarif carter
dibagi ber-12 maka patungan per kepala menjadi lebih murah.
Namun kelakuan sopir angkot carter
tidak semanis janjinya (baper). Tak jauh dari Terminal Wonosobo, kami diover ke
sebuah mikro bus, dengan alasan jalur menuju Dieng macet total dan mobil mikro
bus lebih cocok untuk menuju Dieng yang memiliki banyak tanjakan. Alhasil kami
harus berdiri di atas mikro bus yang sebelumnya sudah penuh dengan penumpang lain.
Berangkat
dari Stasiun Purwokerto pukul 11.30, pukul 15.30 kami tiba di Patakbanteng.
Matahari sudah condong ke barat, kami segera menuju ke rumah Pak Yus. Di sana kami
menyeleksi mana barang yang ditinggal, mana yang dibawa. Setelah membayar
simaksi Rp 6.000 per orang, pukul 18.30 kami mulai mendaki. Jalur dipenuhi deru
campur debu (kayak kumpulan puisi Chairil Anwar) karena banyaknya pendaki yang
naik, dan hujan yang belum turun. Pukul 21.30 kami sampai di puncak. Setelah lama
mencari lapak, kami pun mendirikan tenda.



Mba boleh mnta nomor pakyus yang masih aktif gaa??saya lost contact nih trakir kesana 2014:(thankss,kalo boleh email aja biar privacy apa bebas hehehe thanks!
BalasHapusAda. Mudah2an masih aktif. Kalo gtu minta email yg bisa dikirimi nmr pak yus, g enak klo lewat kolom komentar.
Hapus