Catatan Perjalanan Prau I: Gunung Prau Vs Logo Aqua



Prau sama dengan logo Aqua. Foto: Desy Yuliastuti
         Pintu terbuka, angin dingin masuk. Secepatnya kami menutupnya kembali setelah berada di dalam rumah. Di dalam rumah terasa hangat, apakah ini cinta? Oh bukan. Pak Yus, porter Gunung Prau, duduk di tengah ruangan, berhadapan bara yang menyala di atas sebuah tungku yang disebut anglo. Pak Yus menggeser posisinya
, memberikan ruang lebih untuk kami berlima. Segera kami menyusul Pak Yus, duduk melingkar mengelilingi anglo, menghangatkan diri dari angin dingin di luar.
          Kami berlima merapatkan tubuh, mendekatkan tangan-kaki ke bara yang menyala merah. Tanpa perlu aba-aba perbincangan mengalir dengan sendirinya, kebanyakan diisi dengan pertanyaan dari kami, dan jawaban berupa cerita mengenai pengalaman Pak Yus. Kala itu, si yang empunya rumah bak selebritas yang tengah diwawancara lima pewarta.
Seperti orang-orang umumnya, kami mengira Pak Yus berasal atau memiliki garis keturunan orang Indonesia timur. Terlihat dari wajahnya yang sangar, rambut yang agak ikal cenderung keriting, dan rahang keras berbalut berewok. Namun dialek dan pengakuannya mematahkan perkiraan kami. Pak Yus asli suku Tengger, bahkan sewaktu kecil beliau memiliki rambut gimbal. Beliau bercerita pernah ada mahasiswa, orang Timur, yang mendaki Gunung Prau. Mahasiswa itu terus memperhatikan Pak Yus, berharap Pak Yus membalas dan memberi tahu bahwa beliau juga berasal dari Timur, tapi urung terjadi karena Pak Yus memang bukan orang timur.
Pak Yus menceritakan pengalamannya dengan polos dan apa adanya, perbincangan kami dipenuhi dengan canda dan tawa, mendengarkan pengalaman Pak Yus sungguh menggelitik dan menghibur. Malam semakin larut, makan malam suguhan istri Pak Yus yang tak habis pun sudah kembali dibawa ke dapur. Lapak tidur digelar di samping anglo. Beberapa dari kami pun mulai beranjak ke tempat tidur, mengenakan sleeping bag dan selimut kepunyaan Pak Yus.
“Tau gak mas, sebenarnya lambang Aqua itu dari Gunung Prau,” ujar Pak Yus sambil memperhatikan botol Aqua kecil yang berada di samping anglo. Mungkin yang dimaksud Pak Yus dengan lambang adalah logo. “Ah, masa sih Pak,” kata salah satu dari kami. “Iya bener mas, coba diliat bener-bener,” katanya lagi, berusaha lebih menyakinkan kami. Kami mengambil kamera dan mencoba mencari gambar Gunung Merbabu, Sumbing, dan Sindoro yang sempat kami potret dari puncak Gunung Prau. Setelah menemukan gambar yang dimaksud, kami mendekatkan kamera dengan logo Aqua. Ternyata benar, siluet tiga gunung di logo Aqua ternyata persis dengan gambar yang kami pegang. Kami baru mengetahui fakta tersebut dari beliau, porter sederhana dan apa adanya, Pak Yus. Beginilah catatan perjalanan kami:

15 Agustus 2015
Kami di Alun-alun Purtorico eh Purwokerto. Foto: Retno Anggorowati
Perjalanan kami mendaki Gunung Prau dimulai dari titik keberangkatan di Stasiun Pasar Senen. Akibat kehabisan tiket kereta kelas ekonomi, kami pun membeli tiket kelas bisnis, Krakatau, rute Jakarta-Purwokerto, seharga Rp 220 ribu. Dari Stasiun Pasar Senen, kereta berangkat pukul 13.00 dan tiba di Stasiun Purwokerto pukul 18.30.
Tiba pada malam hari, kami mencari penginapan di dekat stasiun. Hotel Damai yang terletak tak jauh dari Stasiun Purwokerto, menjadi pilihan bermalam. Kami menyewa ruangan besar, satu kamar mandi-dua kamar (lebih mirip kontrakan sebenarnya), seharga Rp 125 ribu per malam. Pada sebuah kota biasanya letak pasar, stasiun, terminal selalu tak begitu jauh. Setelah menaruh tas, kami memutuskan pergi menuju Alun-alun Purwokerto, sembari mencari makan dan melihat pawai kebudayaan yang biasanya diadakan menjelang perayaan hari-hari besar. Benar saja, alun-alun dipenuhi dengan lautan manusia. Di sana kami melihat pawai, mencari makan, dan bertemu kenalan yang tinggal di Purwokerto. Menjelang pukul 23.00, kami menyeret tubuh kembali ke penginapan.

16 Agustus 2015
Nunggu angkot carter pemberi janji palsu sedang tambel ban. Foto: Retno Anggorowati
          Pukul 09.00, kami check out dari penginapan. Kemudian turun ke jalan, menunggu angkutan umum. Calo angkutan datang, menawarkan carter mobil. Kami ditawari carter mobil Avanza menuju Patakbanteng seharga Rp 650 ribu. Terasa mahal jika tarif Avanza dibagi lima penumpang. Kami memilih bergabung dengan kenalan dari Jakarta, sehingga kami berjumlah 12 orang, lalu kami mencarter angkutan umum seharga Rp 750 ribu. Jika tarif carter dibagi ber-12 maka patungan per kepala menjadi lebih murah.
          Namun kelakuan sopir angkot carter tidak semanis janjinya (baper). Tak jauh dari Terminal Wonosobo, kami diover ke sebuah mikro bus, dengan alasan jalur menuju Dieng macet total dan mobil mikro bus lebih cocok untuk menuju Dieng yang memiliki banyak tanjakan. Alhasil kami harus berdiri di atas mikro bus yang sebelumnya sudah penuh dengan penumpang lain.
Berangkat dari Stasiun Purwokerto pukul 11.30, pukul 15.30 kami tiba di Patakbanteng. Matahari sudah condong ke barat, kami segera menuju ke rumah Pak Yus. Di sana kami menyeleksi mana barang yang ditinggal, mana yang dibawa. Setelah membayar simaksi Rp 6.000 per orang, pukul 18.30 kami mulai mendaki. Jalur dipenuhi deru campur debu (kayak kumpulan puisi Chairil Anwar) karena banyaknya pendaki yang naik, dan hujan yang belum turun. Pukul 21.30 kami sampai di puncak. Setelah lama mencari lapak, kami pun mendirikan tenda.

2 komentar:

  1. Mba boleh mnta nomor pakyus yang masih aktif gaa??saya lost contact nih trakir kesana 2014:(thankss,kalo boleh email aja biar privacy apa bebas hehehe thanks!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada. Mudah2an masih aktif. Kalo gtu minta email yg bisa dikirimi nmr pak yus, g enak klo lewat kolom komentar.

      Hapus